Journal #1. 11(PM)-12(AM)

Aku merasa apa yang selalu aku idam-idamkan, dengan level percaya diri yang penuh, selalu berakhir kecewa. Terkadang aku menginginkan sesuatu dan aku yakin bisa meraihnya. Kerapkali pula, diiringi suatu bayangan yang menyenangkan, khayalan yang membahagiakan. Sayangnya, akhirnya, nyari semuanya pahit. Percaya diri dan ekspektasi datang bersama dengan rasa kecewa yang teramat dalam.

Akhir-akhir ini aku takut pada diriku sendiri. Semakin kuat keinginanku untuk disukai, disayangi dan dicintai, semakin pula aku takut bahwa hal yang terjadi adalah sebaliknya. Dicaci dan dijauhi. Bahkan yang paling parah tidak dianggap ada.

Kedengarannya seperti pandangan anak baru gede lain pada umumnya, namun sayangnya perasaan ini valid.

Aku kadang merasa bertindak keterlaluan kepada orang lain. Aku ingin menjadi pribadi yang menyenangkan, tetapi di saat yang bersamaan punya kekhawatiran salah sasaran. Akhirnya orang lain pun cenderung mempunyai sentimen negatif. Aku selalu kepalang percaya diri bahwa pribadiku pasti diterima oleh semua orang, asal aku melakukan hal-hal baik. Tapi ternyata banyak juga hal baik yang berujung menyebalkan. Apakah hal seperti itu ada?

Aku pikir ada. Niat baik dilakukan dengan cara yang baik adalah hal baik. Sementara niat baik, dilakukan dengan cara yang culas dan kurang baik adalah pribadi yang kaku. Sementara niat buruk dilakukan dengan cara-cara yang baik dan elegan adalah kombinasi dosa yang sungguh dahsyat.

Pertama, niat baik dilakukan dengan cara yang baik. Ini jarang terjadi –dan kalau bukan langka. Misalnya, seseorang ingin menolong orang miskin dengan memberikan bantuan berupa uang atau makanan. Maka ia tidak perlu repot-repot membawa kamera untuk merekam aktivitas kebaikannya. Tingkatan kebaikan yang sungguh tidak butuh divalidasi siapa pun. Ini adalah hal yang menurut saya baik.

Kedua, niat baik namun dilakukan dengan cara-cara yang salah. Saya akan memberikan sebuah ilustrasi. Seorang anak membangunkan Ibunya atau Ayahnya untuk salat subuh. Tentu niat anak ini sungguh mulia. Mengajak orang untuk berserah diri dan bersyukur kepada Tuhan adalah hal yang luhur. Saya sendiri melihat salat sebagai kebutuhan hamba akan Tuhannya, bukan sebagai kewajiban. Namun, cara si anak untuk membangunkan kedua orang tuanya adalah dengan menyiram ember berisi air. Jelas, cara ini tidak etis bahkan menabrak norma-norma kesopanan. Si anak, bisa melakukan cara lain yang lebih elegan dan dapat diterima umum, terlebih tidak menyakiti.

Ketiga, niat buruk dilakukan dengan cara-cara yang baik dan terstruktur. Ini sering terjadi. Di kantor seorang kolega acapkali mengajak orang untuk menyewa pemandu lagu karaoke, atau dengan sedikit silat lidah seorang bos mengajak bawahannya untuk pergi ke salon plus-plus. Kata-katanya bermacam dan nampak meyakinkan seperti: “kita tidak harus selalu menyumbang di kotak amal, tapi para perempuan penghibur juga butuh rezeki kita. Kita hanya memasukan uang ke dalam “lobang” yang lain. Tentu dosa adalah kesunyian masing-masing. Tapi saya melihat aktivitas itu sebagai niat buruk yang dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Entah kenapa, saya punya desire untuk disukai setiap orang. Padahal saya tahu tidak ada yang harus di dunia ini. Perasaan beberapa menit yang lalu, perasaan takut dibenci dan takut tidak diterima, tidak dicintai, datang secara terus-menerus. Saya tidak tahu pasti apa akar masalahnya.

Semoga saya lekas menemukan jawaban.

Jakarta, 29 Juni 2022

Leave a comment